Saya adalah seorang yang aktif di bidang dakwah dan komunikasi, dengan ketertarikan pada media, penulisan, dan kegiatan sosial. Saya senang belajar hal baru, terutama yang berkaitan dengan pengembangan diri dan pemberdayaan masyarakat. Dalam setiap aktivitas, saya berusaha menghadirkan nilai-nilai kebaikan dan inspirasi melalui cara yang kreatif dan menyenangkan.
Beriman dengan Nalar, Berilmu dengan Nurani
4 jam lalu
Komunikasi lintas iman penting sebagai jalan membangun empati, kerja sama, dan perdamaian di tengah perbedaan.
Di zaman sekarang, media sosial dan internet jadi bagian besar dari kehidupan sehari-hari kita. Tapi sayangnya, ruang digital juga sering dipakai untuk menyebar konten yang memicu konflik antaragama: ujaran kebencian, hoaks soal keyakinan tertentu, atau komentar sinis terhadap kelompok keagamaan. Dalam laporan Wahid Foundation, disebut bahwa kebebasan beragama kini “terjepit” di dunia digital antara hak berekspresi dan bahaya ujaran kebencian (Putri, 2024).
Contoh nyata, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah meminta masyarakat tidak ikut terpancing isu intoleransi dari video viral yang memancing emosi keagamaan (Komdigi, 2020). Juga, media melaporkan bahwa ujaran kebencian berbasis agama secara konsisten menjadi pemicu konflik sosial (Tempo, 2025). Kasus-kasus penolakan tempat ibadah atau penghancuran gereja juga terus muncul menunjukkan bahwa tantangan toleransi masih nyata dalam masyarakat kita(Puspita, 2021).
Kendati begitu, Indonesia juga punya sisi positif dalam forum-forum internasional, Indonesia sering dijadikan contoh negara yang berhasil menjaga persatuan lewat toleransi antaragama (News, 2024). Nilai “Bhinneka Tunggal Ika” tetap dijunjung tinggi, dan literasi keagamaan lintas budaya terus dipromosikan sebagai jalan memperkuat harmoni (News, 2024).
Fenomena ini menjadi titik awal penting. Karena di antara gesekan dan perbedaan, ada peluang besar yaitu bagaimana kita membawa agama dan ilmu untuk bertemu, lalu melalui komunikasi lintas iman membangun kehidupan bersama yang lebih baik di mana manusia bisa tumbuh sepenuh hati, dengan akal yang sehat dan nurani yang terang.
Agama dan Ilmu sebagai Dua Sayap Peradaban
Agama dan ilmu pengetahuan sejatinya bukan dua hal yang bertentangan, melainkan dua sayap yang membuat peradaban manusia bisa terbang tinggi. Agama menuntun hati agar tetap berada di jalur moral, sedangkan ilmu menuntun akal agar manusia mampu berpikir logis dan kritis. Dalam ajaran Islam, keduanya tidak pernah dipisahkan (Azizah, 2018). Al-Qur’an mengajarkan untuk membaca dua jenis ayat, ayat qauliyah (wahyu Allah dalam kitab suci) dan ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah dalam alam semesta). Keduanya menjadi sumber pengetahuan yang saling melengkapi (Wakit et al., 2025).
Tokoh-tokoh Islam klasik seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Ghazali adalah bukti nyata bahwa iman dan nalar bisa bersinergi. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga mengembangkan logika, kedokteran, dan filsafat. Dalam pandangan mereka, mencari ilmu adalah bentuk ibadah, karena dengan ilmu manusia mengenal Tuhannya melalui ciptaan-Nya.
Komunikasi Lintas Iman sebagai Jalan Human Flourishing
Dalam kehidupan modern yang semakin beragam, komunikasi lintas iman bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Manusia hidup berdampingan dengan perbedaan keyakinan, budaya, dan cara pandang. Namun, di tengah kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, perbedaan itu justru sering menjadi sumber salah paham. Di sinilah komunikasi lintas iman berperan penting bukan untuk menyeragamkan keyakinan, melainkan untuk membangun jembatan pemahaman dan menghargai kemanusiaan yang sama-sama kita miliki (Soffi, 2023).
Konsep human flourishing berbicara tentang manusia yang berkembang secara utuh, bukan hanya dari sisi intelektual, tetapi juga emosional, sosial, dan spiritual. Dalam konteks ini, komunikasi lintas iman menjadi ruang latihan empati. Ketika seseorang mau mendengarkan kisah dan pengalaman orang lain yang berbeda keyakinan, ia sedang menumbuhkan kebijaksanaan dan welas asih. Itulah bentuk nyata dari manusia yang “berkembang” bukan hanya pintar berpikir, tapi juga halus dalam merasa (Sekarini et al., 2020).
Dalam pandangan profetik, komunikasi lintas iman selaras dengan nilai tabligh, amanah, dan rahmah.
- Tabligh mengajarkan cara menyampaikan kebenaran dengan kebijaksanaan. Seorang Muslim yang berdialog dengan penganut agama lain perlu berbicara dengan sopan dan penuh hormat, bukan dengan nada menggurui.
- Amanah berarti tanggung jawab terhadap apa yang diucapkan. Dalam dialog lintas iman, setiap kata membawa makna maka kejujuran, keadilan, dan itikad baik menjadi hal utama.
- Rahmah mengandung semangat kasih sayang universal. Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi satu kelompok.
Ketiga nilai ini menjadikan komunikasi lintas iman bukan sekadar percakapan, tetapi bentuk ibadah sosial: mempertemukan hati yang berbeda dalam kedamaian. Melalui jalan ini, manusia belajar bahwa perbedaan tidak harus menjadi jurang, melainkan taman tempat kita tumbuh bersama menuju kehidupan yang lebih damai, saling menghargai, dan berbahagia — inilah makna sejati dari human flourishing.
Nilai-Nilai Profetik dalam Ilmu dan Agama
Tiga nilai utama profetik dapat menjadi pedoman dalam memadukan agama, ilmu, dan kemanusiaan.
- Humanisasi (amar ma’ruf). menggunakan ilmu dan iman untuk memanusiakan manusia, menghormati perbedaan, dan menegakkan keadilan.
- Liberasi (nahi munkar). membebaskan manusia dari ketakutan, fanatisme, serta kebodohan yang menghambat kemajuan.
- Transendensi (tu’minuna billah). mengembalikan semua pencapaian ilmu dan hasil dialog pada kesadaran akan kehadiran Tuhan (Ningsih et al., 2024).
Ketika nilai-nilai ini dihidupkan, maka agama dan ilmu tidak lagi berjalan terpisah, tetapi saling menguatkan demi terwujudnya kehidupan yang lebih beradab dan manusiawi.
Di tengah derasnya arus informasi dan perdebatan seputar agama maupun ilmu pengetahuan, kita sering lupa pada hal paling mendasar bahwa semua pencarian manusia, baik lewat wahyu maupun penelitian, sesungguhnya berawal dari satu niat memahami makna hidup dan membawa kebaikan bagi sesama. Ilmu tanpa nurani bisa menimbulkan keserakahan, sedangkan iman tanpa nalar bisa menimbulkan fanatisme (Badruzaman, 2017). Karena itu, keseimbangan antara keduanya menjadi kunci bagi tumbuhnya peradaban yang berkeadaban.
Refleksi ini mengingatkan bahwa tugas manusia bukan hanya menjadi pemeluk agama, tetapi juga penjaga kemanusiaan. Melalui dialog lintas iman dan kerja sama lintas ilmu, kita bisa membangun jembatan pengertian yang memperkaya, bukan tembok yang memisahkan. Semangat human flourishing tumbuh ketika setiap individu mau membuka diri, mendengar, dan belajar dari yang berbeda sebab perbedaan bukan ancaman, melainkan anugerah.
Kini, saatnya kita menyalakan kembali sinar profetik dalam diri, berpikir kritis tanpa kehilangan kasih, beriman tanpa menutup diri dari pengetahuan. Mari beriman dengan nalar, berilmu dengan nurani. Karena dari sanalah lahir manusia-manusia yang bukan hanya cerdas, tetapi juga lembut hatinya. Bukan hanya tahu kebenaran, tetapi juga mau menebarkannya dengan hikmah dan cinta.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Beriman dengan Nalar, Berilmu dengan Nurani
4 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler